Jumat, 30 Desember 2011

Cerpen Jaman SMA

Diare Cinta

Dingin Jumat subuh menusuk tulang ketika Tisa membuka jendela kamar kosnya. Dia baru saja selesai solat subuh dan hendak mengerjakan PR nya, PR Bahasa Jepang. Tadi malam, dia tidak sempat menyelesaikan PR Bahasa Jepangnya karena sangat capek. Saat Tisa menempelkan pantatnya di kursi belajarnya, dia terkejut akan suara pintu kamarnya yang terbuka oleh seseorang. Oh, pintu kamar memang tidak dalam keadaan terkunci. Sedikit melotot mata Tisa ketika mengetahui bahwa yang membuka pintunya tanpa salam tanpa ketuk itu adalah temannya, Wini.
“Tis, punya minyak kayu putih ndak?”
“Heh, ngapain kamu? Pucet amat. Sakit??”
Tisa beranjak dari kursi yang didudukinya, mengambilkan minyak kayu putih untuk Wini.
“Nih.” Tisa mengulurkan minyak kayu putih itu.
Wini yang duduk di kasur Tisa itu menerima minyak kayu putih sambil merintih. Tangan kirinya memegangi perutnya.
“Kenapa ik?” tanya Tisa sembari duduk di samping Wini.
Mencret.”
“Heepppp…” Tisa menahan tawanya yang hampir meledak. Dia menutup mulutnya  dengan tangan kanannya.
Ngguyu o ngguyu o.” kata Wini sebal.
“Haha, ya udah, kamu tidur saja sana. Aku mau mandi, nanti KAEM (kamar mandi) keburu penuh.”
Tisa mengambil handuk yang tergantung di kastok dan bergegas menuju kamar mandi. Baru sampai depan pintu kamarnya, dia berbalik lagi masuk. Hendak mengatakan sesuatu kepada Wini.
Tisa berkata kepada Wini bahwa dia pengen pulang. Semalam, Tisa memimpikan mamanya. A nightmare.
“Halah, cuma mimpi, mimpi kan cuma kembang tidur,” kata Wini menanggapi curahan hati Tisa itu.
“Lha kalau kembang lambe apa? Hihi.”
Pertanyaan yang sama sekali nggak masuk dan nggak penting itu keluar dari mulut Tisa. Membuat Wini nyengir, tapi sambil mikir. Mulesnya pun berangsur membaik.
“Gosip kan jawabannya?” Wini mencoba menebak.
“Salah, yee. Haha.”
Tisa kembali meraih handuknya yang tergeletak di kasur. Beranjak keluar dari kamarnya. Sampai di pintu dia berbalik dan mengatakan jawabannya pada Wini.
“Jawabannya, adalah…. Win, tiap malem kan kamu mengalaminya. Haha haha.”
“Hi, nggilani.
Tisa terbahak-bahak sejak dari kamarnya sampai di kamar mandi. Sampai- sampai, anak kos yang lainnya heran akan tingkahnya. Seperti orang kesurupan.
Sedangkan Wini yang masih di kamar Tisa itu memilih untuk berbaring. Kembali memegangi perutnya yang berasa pengen pup. Wini memejamkan matanya. Sebenarnya dia pengen izin nggak masuk sekolah hari ini.
***
Meskipun rasa mulesnya masih terasa sedikit, Wini tetap bersemangat untuk berangkat sekolah mulesnya sudah tak sehebat tadi subuh karena Tisa telah membuatkan larutan gula garam sebagai obat diare. Tujuh anak kos itu berangkat sekolah bersama-sama. Jalan kaki pastinya.
***
Saat pelajaran Bahasa Jepang berlangsung, salah seorang anak di kelas Tisa, izin ke kamar kecil. Namanya Adihosa, biasa dipanggil Hoho. Namun, setelah 15 menit, Hoho belum juga kembali ke kelas. Kemudian Guru Bahasa Jepang menyuruh dua anak laki- laki untuk mengecek atau mencari Hoho semisal ada apa-apa. Hal itu membuat seisi kelas gaduh. Mereka menebak - nebak sesuatu yang akan terjadi pada Hoho.
Tisa mendengar salah satu anak di kelasnya berkata bahwa Hoho tidur di kamar kecil. Hal itu membuat Tisa tertawa gila.
Sepuluh menit kemudian.
Anak-anak seisi kelas cekikikan ketika Hoho masuk kelas sambil memegangi perutnya. Alis Tisa terangkat seketika, heran akan apa yang telah terjadi pada Hoho. Tapi, pikiran usilnya muncul ketika Hoho sampai di tempat duduknya, di belakang Tisa.
“Diare ya Bang? Makan saus berapa karung tadi malam? Haha,’’ kata Tisa dengan nada mengejek.
Pandangan Hoho terhadap Tisa sangat tidak enak. Tisa sadar mungkin Hoho akan marah andai masih mengeluarkan kata-kata yang menyinggung. Maka, ekspresi wajah Tisa berubah menjadi datar, dia berbalik arah, menghadap depan kembali.
Pandangan Hoho tadi sangat merusak konsentrasi Tisa dalam menerima pelajaran. Wajah orang yang ada di belakangnya kini sedang  berlari-larian dalam otakknya. Dan, dia ingat akan sesuatu. Dasar pelupa. Tadi malam, dia ditraktir makan mie ayam oleh Hoho. Malam itu pula, Hoho menyatakan perasaannya kepada Tisa. Namun, Tisa tidak menanggapi dengan serius. Tisa  tidak sadar bahwa teman kecilnya itu jatuh cinta dan berusaha mendapatkannya. Dan kini, ketika Hoho sedang sakit, Tisa tidak memedulikannya. Malah mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan Hoho. Sadis.
Tisa tersadar dari lamunan setelah teman sebangkunya, Wini, menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Tisa.
“Apaan sih?” kata Tisa menyambar tangan Wini
“Apa -apaan. Kamu tu ngalamun tau!” suara Wini terdengar seisi kelas. Sontak seluruh bola mata di kelas itu tertuju pada bangku mereka. Termasuk Guru Bahasa Jepang yang sedang menerangkan.
 “Kimitachi, nani o shite imasuka?” (Hei, kalian sedang apa?) tanya Guru Bahasa Jepang itu.
“Eh, ano. Oka ne ga arimasen.” (Eh, anu. Saya tidak punya uang).
Jawaban ngawur dari Wini itu membuat Tisa terkekeh. Sedangkan Guru Bahasa Jepang hanya geleng-geleng sambil membetulkan kacamatanya. Cukup ndongkol mungkin. Anak-anak yang lain cuma diam karena tidak mengerti apa yang dibicarakan antara Guru Bahasa Jepang itu dengan Wini dan Tisa.
Bel istirahat berbunyi. Pelajaran Bahasa Jepang berakhir.
Sebelumnya, Tisa dipanggil oleh Guru Bahasa Jepang itu. Dilihatkannya, nilai ulangan Bahasa Jepangnya yang ke-dua adalah 100. Senyum Tisa mengembang menghiasi raut wajahnya ketika kembali ke bangkunya. Sudah tidak ada Wini ternyata. Sejenak, dia melihat Hoho yang sedang tertunduk. Tisa duduk menghadap belakang, lalu mengajaknya bicara.
“Ho, nanti mau ikut nge-mie bareng temen-temen nggak?” kata Wini menawarkan. Karena sebelumnya, temen-temen itu ribut pengen nge-mie bareng – bareng.
Hoho mengangkat kepalanya. Berdiri, lalu berjalan menuju meja Tisa. Membuat Tisa memutar badannya menghadap depan kembali. Salah satu tangan Hoho memegang kursi yang diduduki Tisa, kemudian dia mendekatkan wajahnya ke arah Tisa sambil berkata pelan “Ogah, aku nggak sudi!” lalu dia pergi keluar kelas. Tisa hanya terdiam bisu.
Glek.
Singkat, pelan, namun tajam. Kalimat itu terucap dari mulut Hoho. Tisa sempat melongo beberapa saat karena dikiranya Hoho akan menciumnya. Dia  menelan ludah, heran sekali karena Hoho menjadi galak seperti enam tahun yang lalu. Matanya kini masih menatap punggung Hoho. Dia mencoba berlapang dada menerima kalimat Hoho yang membuat hatinya berdesir. Lalu menarik napas panjang dan berkata dalam hati.
“Ya sudah kalau tidak mau.”
***
Bel pulang sekolah.
“He, Tis! Nanti jadi nge-mie lhoo ya. Habis Jumat an,seru seorang anak perempuan.
“Heee, he-eh, ayo bareng- bareng biar rame.”
“Kamu yang bayarin ya Tis, hehe. Nilai fisikamu kan 100.”
“He e, traktiran yoooo.”
Teriakan – teriakan dari teman- teman Tisa membuat Tisa kebingungan. Bahkan, dia lupa bahwa nilai ulangan fisikanya kemarin dapat 100.
“Hi? Kok aku sih?” celoteh Tisa nyengir.
“Ya selebrasi dikit dong Tis, selametan.” Lala yang duduk di depannya itupun menimpali.
Setelah mempertimbangkan beberapa saat, Tisa menyetujui. Dia akan mentraktir sebagian temannya makan mie ayam di warung mie ayam yang ada di sebelah utara sekolah.
***
Tisa masih membereskan buku-bukunya yang berserakan di laci meja di kelasnya. Sembari dia memikirkan teman- temannya sekitar tujuh orang itu yang bener-bener minta ditraktir. Yang lainnya, dia fikir, nggak bakal tega ngeretin uangnya meskipun Tisa punya uang lebih.
“Win, ayo pulang!
“Bentar dong Tis, lacinya banyak sampah.”
Tisa membalikkan badannya ke arah bangku belakang. Dia agak kaget. Ternyata, bangku belakang masih ada penghuninya, yang tak lain adalah Hoho, yang sedang menggambar abstrak nggak jelas di secarik kertas polos.
Kalimat “Loh kok belum pulang?” tidak jadi dilontarkan Tisa untuk Hoho. Dia teringat akan kejadian tadi sewaktu istirahat, yang sedikit menyesakkan dadanya. Sebenarnya Tisa ingin sekali meminta maaf kepada Hoho. Namun, ada saja suatu hal yang menghalanginya untuk berbicara dengan Hoho.
Ketika Hoho menatapnya tajam, Tisa berpaling dan bergegas pulang bersama Wini meninggalkan Hoho sendirian di kelas. Dan, Tisa lupa meminta maaf.
***
Tisa datang bersama Wini di warung mie ayam di sebelah utara sekolah itu pukul 12.55. Ternyata  sudah ada lima anak yang menunggunya.
“Weee, Bos kita datang”
“Loh, kok mbawa tas, mau kemana?” tanya seorang temannya.
“Habis ini aku mau pulang.”
“Pulang kemana? Ke rumah? Lhaa, nanggung banget, ini kan hari Jumat Tis, kenapa nggak besok aja pulangnya?”
Pertanyaan itu tak terjawab oleh Tisa.
Tisa duduk di sebelah Rouf, temannya yang paling gokil meskipun  letoy. Dia panggil pelayan lalu memesan enam mie ayam dan tujuh teh. Wini tidak ikut makan mie ayam, belum berani. Takut kalau perutnya sakit dan diare lagi.
“Aku lagi pengen pulang.”
Perkataan Tisa memecah keheningan diantara tujuh anak yang duduk mengelilingi meja persegi panjang itu. Mereka hanya mengangguk- angguk setelah mendengar pernyataan dari Tisa.
Tak lama kemudian pesanan berupa enam mie ayam dan teh sebanyak tujuh gelas itupun mendarat di meja yang dikelilingi tujuh anak itu.
“Satu, dua tiga.”
“Makan.”
Mereka sangat bersemangat sekali ketika menuangkan saus, kecap, sambal, dan sebagainya. Nggak tanggung- tanggung, Tisa menuangkan saus sebanyak tiga sendok makan penuh. Rouf pun sampai melongo melihat tingkah Tisa.
“Tis, lebay amat sih kamu.”
“Kebanyakan ya? Biarin deh.”
“Serius lo? Nggak kasian sama perut lo?” ucap Rouf berlagak anak gaul.
“Ck, yang penting makan. Yuuk.”
“Sterah deh.”
“Hh, Tisa kan anak ular.”
“Haish, urusai- berisik.”
“Teman-teman, berdoa dulu sebelum makan,” ucap Fatim yang biasa di panggil teman- temannya dengan nama Ustazdah itu.
Setelah menghabiskan mie ayamnya, Tisa berpamitan kepada teman-temannya untuk pulang dulu karena sebentar lagi ayahnya akan menjemput. Tisa memberikan sejumlah uang kepada agar nanti seluruh makanan dibayar.
Dia tinggalkan teman – temannya lalu menuju halte, menunggu kedatangan papanya. Sesaat setelah sampai di halte, mendadak ada pengendara motor yang berhenti dihadapannya. Tia tidak mengenalnya karena wajahnya tertutup oleh helm.
Saat pengendara motor iu melepas helmnya, Tisa agak terkejut. Pemakai helm hijau floral itu adalah Hoho. Senyum Hoho mengembang, membuat Tisa tak bergerak beberapa detik.
“Mau kemana?” Hoho beloum turun dari motornya.
“Mau pulang,” kata Tisa berpaling.
“Pulang? Pulang ke rumah? Ngapain?”
“Iya, ya pengen pulang aja, Ho.” Katanya datar sembari menengok jam tangannya. Kini Dia benar-benar  nggak bisa menatap mata Hoho. Entah mengapa.
“Mau ku anter?”
Tisa sempat menelan ludah. Hoho yang tadi siang galaknya minta ampun, sekarang jadi kalem. menawarkan jasa mengantar Tisa pula.
“Eh, enggak, Ho, makasih. Aku dijemput Papa kok, itu mobilnya udah keliatan,” kata Tisa dengan senyum. Kini dia tatap sepasang mata manusia yang ada di depannya.
Hoho menoleh ke belakang, melihat mobil yang ditunjuk oleh Tisa. Mobil itu kemudian berhenti persis di depan halte, di depan motor Hoho. Ketika kaca depan mobil itu terbuka, Hoho menampakkan senyum manisnya ke seorang laki- laki yang ada di belakang kemudi, yang tak lain adalah Ayah Tisa. Senyum balasan pun berhasil Hoho dapatkan,
“Aku pulang duluan ya, see you.”
Tisa masuk ke dalam mobil itu.
“Ya,” kata Hoho singkat sambil menganggukkan kepalanya.
Mobil itu melesat pelan meninggalkan Hoho yang masih di halte bersama motornya itu.
***
“Itu tadi Hoho ya Tis? Kalian pacaran?”
Pertanyaan yang sedikit nabrak hati Tisa itu membuatnya sedikit sungkan untuk membahas hal itu meskipun Hoho bukan pacarnya.
“Iya Pa, Hoho teman kecil Tisa kan Pa. enggak, kita enggak pacaran, kita Cuma temen kok Pa.” Tisa berusaha menjelaskan.
“Oh, begitu. Ya, kalau bisa kamu jangan mikir yang gitu- gitu dulu. Sekolah dulu, yang pinter, yang rajin, biar jadi orang yang berguna.”
Tisa mengangguk - angguk sambil meresapi kata- kata ayahnya itu, yang mungkin, belum membolehkan Tisa untuk berpacaran.
Di dalam perjalanan, ayah Tisa bercerita bahwa mama tadi malam diare. Itu terjadi  lantaran mama Tisa kebanyakan makan pepaya.
Hal itu membuat Tisa merenung. Tiga orang terdekatnya kini sedang diare. Jangan- jangan, habis ini, giliran dia yang diare. Oh tidaaak.
“Kok malah melamun sih? Hm, nggak usah sedih, Mama mu udah baikan kok.”
“Eh…,” Tisa terbangun dari perenungannya.
“Oh, ya Alhamdulillah deh Pa,” lanjut Tisa.
“Oh ya, Papa lupa  tanya, ngapain kamu pulang Jumat –Jumat gini, nanggung. Kenapa nggak besok aja?”
“Hehe. Punya feeling Pa. dan feelingku itu benar lhoo. Fellingku kan mama sakit. Beneran kan? He,” jawab Tisa cengar cengir.
Sampai di rumah.
Mama Tisa agak terkejut melihat anak gadisnya itu  pulang. Dikiranya ada apa-apa yang terjadi padanya Karena sebelumnya Tisa tidak memberi kabar kepada mamanya bahwa Dia akan pulang. Tisa mendarat dipelukan mamanya.
Tisa merasa kehausan setelah ia mencuci kakinya. Ketika hendak menuju ke kamar, Dia melihat ada 1 paket minuman kesehatan dengan merk “yakult” terselip diantara meja dispenser dan lemari es. Tisa suka minuman itu sejak kecil karena rasanya yang  menurutnya enak dan sehat. Tisapun segera merobek plastik pelindung empat botol minuman itu, lalu membuka tutupnya kemudian meminumnya. Dia habis dua botol.
Adiknya paling kecil yan usianya 9 tahun itu datang menghampirinya.
“Kak, kok diminum to?”
“Loh, yakult ini minuman kesehatan lhoo. Bagus untuk usus kita. Kok malah heran kamu ini.”
“Kata mama, ini udah kadaluarsa Kak, makanya tadi diselipkan di sini neeehh.”
Kata- kata polos yang terucap oleh adiknya itu membuat Tisa membelalakkan mata dan super kaget. Tisa lalu melihat label kadaluarsanya yang ada pada botol kemasan yakult itu. Dan benar aja, minuman itu sudah kadaluarsa satu hari. Entah mengapa mama nya bisa membeli barang kadaluarsa itu. Tisa lalu membuang sisa yakult itu ke bak sampah.
“Halah, baru kadaluarsa satu hari Dek, nyante aja lagi. Paling- paling ya nggak ngefek.”
Adiknya hanya diam.
***
Malam harinya, perut Tisa mules minta ampun, sampai merintih- rintih seperti  orang kelaparan. Dia sudah 4 kali ke WC. Ya, Tisa diare. Tisa sudah dibujuk- bujuk oleh mama dan ayahnya untuk ke dokter. Tapi Tisa tidak mau.
“Tadi kamu makan apa aja to kok bisa kayak gini?” tanya mama Tisa sembari memberikan air putih untuk Tisa.
“Makan mi ayam, Mah.”
“Kebanyakan saus?”
Tisa tidak menjawab, dia terus merintih dan lama- lama dia merasakan pusing.
“Mah, tadi Kak Ntis minum yakult kadaluarsa tadi, Mah,” kata adik Tisa yang tiba- tiba nyelonong asuk ke kamar.
“Ya Allah, ya udah ayo ke dokter aja, biar nati dikasih obat, Tis,” ajak mama Tisa.
“Kak Ntis sih, tadi malah menyepelekan. Jadi sakit kan!” celoteh adik Tisa itupun tak membuat sakit Tisa berangsur membaik, malah semakin parah.
***
Setelah Dokter mendiagnosis sakit yang dialami Tisa, Dokter berkata bahwa Tisa harus dirujuk ke rumah sakit karena diare Tisa memang harus ditangani lebih lanjut.
Tisa menjadi tambah lesu ketika mendengarkan pernyataan dari dokter itu. Kalau dia dirujuk di rumah sakit, kemungkinan dia akan dirawat inap, berhubungan dengan suntik, infus dan obat. Sebenarnya Tisa membenci itu karena pada dasarnya, Tisa benci sakit. Ya, semua orang pasti tidak suka sakit. Tapi, mau bagaimana lagi, memang obatlah yang menjadi teman orang sakit? Toh ini demi kesembuhannya agar bisa sehat kembali.
            Benar saja, Tisa dirawat inap di rumah sakit yang lumayan jauh dari rumahnya. Mukanya jadi pucat pasi ketika perawat hendak memasang infus. Tapi Tisa berusaha kuat.
            Tisa belum mengabari teman- temannya di sekolah tentang keadaan dirinya.  Yang sudah pasti tidak akan masuk sekolah besok pagi. Tisa nggak mampu berbuat banyak.
            “Pah, buatin surat ijin lho,Pah,” kata Tisa memecah keheningan ruangan Tisa itu.
            Adik Tisa sudah tidur di kursi di sebelah televisi. Mama Tisa sedang keluar membeli cemilan untuk Ayah Tisa.
            “Iya, sekarang kamu istirahat dulu aja.”
***
Ketika mengetahui bahwa Tisa sakit, Wini tampak tak bersemangat. Tapi Wini punya rencana, sepulang sekolah nanti dia akan menjenguk Tisa, yang pastinya bersama anak-anak di kelas.
Demikian pula dengan Hoho. Tisa, orang yang telah menolak cintanya kemarin lusa dan menolak jasanya kemarin itu jatuh sakit. Jenis sakitnyapun sama dengan sakit yang dialaminya kemarin, cuma lebih parah Tisa.
“Andaikan engkau di sini, aku akan selalu menjagamu,” kata Hoho dalam hati.
Pulang sekolah, sekitar 15 anak menuju ke rumah sakit tempat Tisa di rawat. Hoho pun juga ikut. Sebelumnya, mereka membelikan buah tangan untuk Tisa.
Di tengah- tengah perjalanan motor Hoho mogok dan harus dibawa ke bengkel. Hati Hoho kesal. Teman – teman yang lainnya memutuskan untuk duluan karena hampir hujan.
“Gimana Ho?” tanya Wini
“Wah, mesinnya sakit nih, kalian duluan aja nggak papa, keburu hujan ntar . Nanti aku nyusul, nanti aku sms sin ruangannya ya.”
“Oke deh, ati – ati lho.”
“Sip.”
Cukup lama Hoho berada di bengkel, hingga hujan pun tiba.
***
Tisa sedang ditunggu oleh kakak sepupunya. Ayahnya kerja, meskipun ini hari Sabtu, lembur. Dan mamanya harus mengurus adiknya.
Tisa yang sedang nonton TV itu terkejut ketika pintu ruangan dibuka tanpa ketuk oleh seseorang.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam, Ya Allah kalian.”
Tisa merasa  seperti kehujanan uang ketika teman- temannya  masuk ke ruangannya. Nggak nyangka kalau teman – temannya bakal sepeduli ini. Dia kira hanya Wini saja yang bakal menjenguknya.
“Mbak, itu teman-temanku,” ucap Tisa pada sepupunya.
Tapi, ada yang mengganjal. Dia tidak melihat Hoho di rombongan teman- temannya ini. Apa Hoho memang sudah tidak peduli akan keadaannya lantaran ditolak? Tisa tak tau.
“Tis, ini ada sedikit cemilan buat kamu, biar cepet sembuh, hehe,” ucap Rouf si gokil itu.
“Maaf Tis, anak- anak nggak bisa ikut semua, termasuk wali kelas kita, Bu Arin nggak bisa ikut.”
“Mungkin pada mau malming, haha.”
“Kalau kita malming nya ya di sini aja, ya nggak?”
Di dalam obrolan mereka, Tisa hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia merasa tidak ada satupun anak yang membicarakan Hoho. Dan, hujan sangat lebat. Membuat Tisa yakin bahwa Hoho tidak menjenguk dirinya.
Teman- temannya itu terus mengobrol dan menghibur Tisa. Sedangkan di luar sana, Hoho harus menembus hujan lebat melewati jalanan yang macet. Demi menjenguk Tisa.
Sesampainya Hoho di rumah sakit, hujan sudah reda. Dia membuka HP nya. Mendapat sms dari Rouf tentang keberadaan Tisa. HP nya bergetar kembali. Sms dari Rouf lagi.
From: Rouf
To: Hoho
Ho, sampai mana kamu?
Lama banget. Kita udah mau pulang ni.

Hoho lalu bergegas menuju ruang tempat Tisa dirawat. Rambut cepaknya berantakan karena memakai helm.
Di ruangan Tisa.
“Wah Tis, udah sore ni, kita..,” kalimat Wini terhenti karena pintu terbuka oleh seseorang.
“Halo, sory guys telat,” kata Hoho agak terengah engah.
“Wah, nggak jadi pulang nih kita,”
“Kita nginep aja ya Tis, boleh yaa. Hehe”
Melihat Hoho, hati Tisa menari – nari tapi raganya hanya diam, melongo. Tisa merasa hari ini Hoho cool banget. Hoho menghampiri raga Tisa yang sedang duduk bersandar di atas tempat tidur putih itu. Menatap wajah pucat dan mata sayu Tisa. Hoho tersenyum, Tisa membalasnya, lalu mengajakknya salaman.  Teman – teman Tisa kini malah pada nonton TV di dekat sudut ruangan. Kakak Tisa memilih untuk keluar mencari cemilan.
Hoho lalu duduk di kursi, persis di sebelah Tisa.
“Gimana? Sakit?” kata Hoho ketus.
Kata- kata itu Membuat Tisa ndongkol habis- habisan. Di kiranya Hoho akan mengajakknya bicara baik- baik, tapi ternyata, menyebalkan.
Tisa tidak menjawab pertanyaan itu. Dia memalingkan wajahnya.
“Makanya, jangan suka ngejek orang, nanti mbalik. Iya kan? Ini buktinya, kamu kena sendiri,” kata Hoho sambil mengacak-acak  rambut Tisa.
Tisa melirik Hoho, mulutnya masih rapat. Raganya serasa melayang ketika Hoho meraih tubuhnya ke pelukan .
“Tis, maafin aku ya. Aku sayang kamu,” ucap Hoho pelan.
Air mata Tisa jatuh membahasi pipinya. Dia tak menyangka ini akan terjadi. 
“Iya. Ho. Aku juga minta maaf Ho, aku banyak salah sama kamu,” kata Tisa sedikit terisak.
Dan kini, air mata Tisa membasahi bahu kanan Hoho, Tisa merasa banyak salah dengan Hoho. Hati Tisa merasa nyaman berada di pelukan Hoho meskipun air matanya mengucur deras. Mereka terdiam beberapa saat. Tisa melepaskan pelukannya. Di tatapnya orang yang ada di hadapannya. Tersenyum.
Get well soon ya,” telapak tangan Hoho mengusap air mata yang tercecer di pipi Tisa.
Tisa tersenyum. Merasa lega.
Hoho membuka tirai yag merupakan sekat antara tempat tidur Tisa dan ruang tamu. Kemudian berseru kepada teman- temannya.
“Ayo pren, pulang, keburu hujan lagi ntar.”

Tidak ada yang mengerti bahkan melihat pembicaraan singkat antara Tisa dan Hoho itu. Dan, tidak ada satupun dari teman Tisa yang penasaran.