Diare Cinta
Dingin Jumat subuh menusuk tulang ketika Tisa
membuka jendela kamar kosnya. Dia baru saja selesai solat subuh dan hendak
mengerjakan PR nya, PR Bahasa Jepang. Tadi malam, dia tidak sempat
menyelesaikan PR Bahasa Jepangnya karena sangat capek. Saat Tisa menempelkan
pantatnya di kursi belajarnya, dia terkejut akan suara
pintu kamarnya yang
terbuka
oleh seseorang. Oh, pintu kamar memang
tidak dalam keadaan terkunci. Sedikit melotot mata Tisa ketika mengetahui bahwa
yang membuka pintunya tanpa salam tanpa ketuk itu adalah temannya, Wini.
“Tis, punya minyak kayu putih ndak?”
“Heh, ngapain kamu? Pucet amat. Sakit??”
Tisa beranjak dari kursi yang didudukinya,
mengambilkan minyak kayu putih untuk Wini.
“Nih.” Tisa mengulurkan minyak kayu putih itu.
Wini yang duduk di kasur Tisa
itu menerima minyak kayu putih sambil
merintih. Tangan kirinya memegangi perutnya.
“Kenapa ik?” tanya Tisa sembari duduk di samping Wini.
“Mencret.”
“Heepppp…” Tisa menahan tawanya yang hampir meledak.
Dia menutup
mulutnya dengan tangan kanannya.
“Ngguyu o ngguyu o.” kata Wini sebal.
“Haha, ya udah, kamu tidur saja sana. Aku mau mandi,
nanti KAEM (kamar mandi) keburu penuh.”
Tisa mengambil handuk yang tergantung di kastok dan bergegas menuju kamar mandi. Baru sampai
depan pintu kamarnya, dia berbalik lagi masuk. Hendak mengatakan sesuatu kepada Wini.
Tisa
berkata kepada Wini bahwa dia pengen pulang. Semalam, Tisa memimpikan mamanya. A
nightmare.
“Halah, cuma
mimpi, mimpi kan cuma
kembang tidur,” kata Wini menanggapi curahan hati Tisa itu.
“Lha
kalau kembang lambe apa? Hihi.”
Pertanyaan
yang sama sekali nggak masuk dan nggak penting itu keluar dari mulut Tisa.
Membuat Wini nyengir, tapi sambil mikir. Mulesnya pun berangsur membaik.
“Gosip
kan jawabannya?” Wini mencoba menebak.
“Salah,
yee. Haha.”
Tisa
kembali meraih handuknya yang tergeletak di kasur. Beranjak keluar dari
kamarnya. Sampai di pintu dia berbalik dan mengatakan jawabannya pada Wini.
“Jawabannya,
adalah…. Win, tiap malem kan kamu mengalaminya. Haha haha.”
“Hi, nggilani.”
Tisa
terbahak-bahak sejak dari kamarnya sampai di kamar mandi. Sampai- sampai, anak
kos yang lainnya heran akan tingkahnya. Seperti orang kesurupan.
Sedangkan
Wini yang masih di kamar Tisa itu memilih untuk berbaring. Kembali memegangi
perutnya yang berasa pengen pup. Wini memejamkan matanya. Sebenarnya
dia pengen izin nggak masuk sekolah hari ini.
***
Meskipun
rasa mulesnya masih terasa sedikit, Wini tetap bersemangat untuk berangkat
sekolah mulesnya sudah tak sehebat tadi subuh karena Tisa telah membuatkan
larutan gula garam sebagai obat diare. Tujuh anak kos itu berangkat
sekolah bersama-sama. Jalan kaki pastinya.
***
Saat
pelajaran Bahasa Jepang
berlangsung, salah seorang anak di kelas Tisa, izin ke kamar kecil. Namanya
Adihosa, biasa dipanggil Hoho. Namun, setelah 15 menit, Hoho belum juga kembali
ke kelas. Kemudian Guru Bahasa Jepang
menyuruh dua anak laki- laki untuk mengecek atau mencari Hoho semisal ada
apa-apa. Hal itu membuat seisi kelas gaduh. Mereka menebak - nebak
sesuatu yang akan terjadi pada Hoho.
Tisa
mendengar salah satu anak di kelasnya berkata bahwa Hoho tidur di kamar kecil.
Hal itu membuat Tisa tertawa gila.
Sepuluh menit
kemudian.
Anak-anak
seisi kelas cekikikan ketika Hoho masuk kelas sambil memegangi perutnya. Alis
Tisa terangkat seketika, heran akan apa yang telah terjadi pada Hoho. Tapi,
pikiran usilnya muncul ketika Hoho sampai di tempat duduknya, di belakang Tisa.
“Diare
ya Bang? Makan saus berapa karung tadi malam? Haha,’’ kata Tisa dengan nada
mengejek.
Pandangan
Hoho terhadap Tisa sangat tidak enak. Tisa sadar mungkin Hoho akan marah andai masih
mengeluarkan kata-kata yang menyinggung. Maka, ekspresi wajah Tisa berubah
menjadi datar, dia berbalik arah, menghadap depan kembali.
Pandangan
Hoho tadi sangat merusak konsentrasi Tisa dalam menerima pelajaran. Wajah orang
yang ada di belakangnya kini sedang
berlari-larian dalam otakknya.
Dan, dia ingat
akan sesuatu. Dasar pelupa. Tadi malam, dia ditraktir makan mie ayam oleh Hoho.
Malam itu pula, Hoho menyatakan perasaannya kepada Tisa. Namun, Tisa tidak
menanggapi dengan serius. Tisa tidak
sadar bahwa teman kecilnya itu jatuh cinta dan berusaha mendapatkannya. Dan
kini, ketika Hoho sedang sakit, Tisa tidak memedulikannya. Malah mengeluarkan
kata-kata yang menyinggung perasaan Hoho. Sadis.
Tisa
tersadar dari lamunan setelah teman sebangkunya, Wini, menggerakkan telapak
tangannya di depan wajah Tisa.
“Apaan
sih?” kata Tisa menyambar tangan Wini
“Apa
-apaan. Kamu tu ngalamun tau!” suara Wini terdengar seisi kelas. Sontak seluruh bola
mata di kelas itu tertuju
pada bangku mereka. Termasuk Guru Bahasa Jepang yang sedang menerangkan.
“Kimitachi, nani o shite imasuka?”
(Hei, kalian sedang apa?) tanya Guru Bahasa Jepang itu.
“Eh, ano.
Oka ne ga arimasen.” (Eh, anu. Saya tidak
punya uang).
Jawaban ngawur
dari Wini itu membuat Tisa terkekeh.
Sedangkan Guru Bahasa Jepang hanya geleng-geleng sambil membetulkan
kacamatanya. Cukup ndongkol mungkin. Anak-anak yang lain cuma
diam karena tidak mengerti apa yang dibicarakan antara Guru Bahasa Jepang itu
dengan Wini dan Tisa.
Bel
istirahat berbunyi. Pelajaran Bahasa Jepang berakhir.
Sebelumnya,
Tisa dipanggil oleh Guru Bahasa Jepang itu. Dilihatkannya, nilai ulangan Bahasa Jepangnya yang ke-dua
adalah 100. Senyum Tisa mengembang menghiasi raut wajahnya ketika kembali ke bangkunya.
Sudah tidak ada Wini ternyata. Sejenak, dia melihat Hoho yang
sedang tertunduk. Tisa duduk menghadap belakang, lalu mengajaknya bicara.
“Ho,
nanti mau ikut nge-mie bareng temen-temen nggak?” kata Wini menawarkan. Karena
sebelumnya, temen-temen itu ribut
pengen nge-mie bareng – bareng.
Hoho
mengangkat kepalanya. Berdiri, lalu berjalan menuju meja Tisa. Membuat Tisa
memutar badannya menghadap depan kembali. Salah satu tangan Hoho memegang kursi
yang diduduki Tisa, kemudian dia mendekatkan wajahnya ke arah Tisa sambil
berkata pelan “Ogah, aku nggak sudi!” lalu dia pergi keluar kelas. Tisa hanya
terdiam bisu.
Glek.
Singkat, pelan,
namun tajam. Kalimat
itu terucap dari mulut Hoho. Tisa sempat melongo beberapa saat karena dikiranya
Hoho akan menciumnya. Dia menelan ludah,
heran sekali karena Hoho menjadi galak seperti enam tahun yang lalu. Matanya
kini masih menatap punggung Hoho. Dia mencoba berlapang dada menerima kalimat
Hoho yang membuat hatinya berdesir. Lalu menarik napas panjang dan berkata
dalam hati.
“Ya
sudah kalau tidak mau.”
***
Bel
pulang sekolah.
“He,
Tis! Nanti jadi nge-mie lhoo ya. Habis Jumat an,” seru
seorang anak perempuan.
“Heee,
he-eh, ayo bareng- bareng biar rame.”
“Kamu
yang bayarin ya Tis, hehe. Nilai fisikamu kan 100.”
“He e,
traktiran yoooo.”
Teriakan
– teriakan dari teman- teman Tisa membuat Tisa kebingungan. Bahkan, dia lupa
bahwa nilai ulangan fisikanya kemarin dapat 100.
“Hi? Kok
aku sih?” celoteh Tisa nyengir.
“Ya
selebrasi dikit dong Tis, selametan.” Lala yang duduk di
depannya itupun menimpali.
Setelah
mempertimbangkan beberapa saat, Tisa menyetujui. Dia akan mentraktir
sebagian temannya makan mie ayam di
warung mie ayam yang ada di sebelah utara sekolah.
***
Tisa
masih membereskan buku-bukunya yang berserakan di laci meja di kelasnya.
Sembari dia memikirkan teman- temannya sekitar tujuh orang itu
yang bener-bener minta ditraktir. Yang lainnya, dia fikir,
nggak bakal tega ngeretin uangnya meskipun Tisa punya uang lebih.
“Win, ayo
pulang!”
“Bentar
dong Tis, lacinya banyak sampah.”
Tisa membalikkan
badannya ke arah bangku belakang. Dia agak kaget. Ternyata, bangku belakang masih
ada penghuninya, yang tak lain adalah Hoho, yang sedang menggambar abstrak
nggak jelas di secarik kertas polos.
Kalimat
“Loh kok belum pulang?” tidak
jadi dilontarkan Tisa untuk Hoho. Dia teringat akan kejadian tadi sewaktu
istirahat, yang sedikit menyesakkan dadanya. Sebenarnya Tisa ingin sekali
meminta maaf kepada Hoho. Namun, ada saja suatu hal yang menghalanginya untuk
berbicara dengan Hoho.
Ketika
Hoho menatapnya tajam, Tisa berpaling dan bergegas pulang
bersama Wini meninggalkan Hoho sendirian di kelas. Dan, Tisa lupa meminta maaf.
***
Tisa
datang bersama Wini di warung mie ayam di sebelah utara sekolah itu pukul
12.55. Ternyata sudah ada lima anak yang menunggunya.
“Weee,
Bos kita datang”
“Loh,
kok mbawa tas, mau kemana?” tanya seorang temannya.
“Habis
ini aku mau pulang.”
“Pulang
kemana? Ke rumah? Lhaa, nanggung banget, ini kan hari Jumat Tis, kenapa nggak
besok aja pulangnya?”
Pertanyaan
itu tak terjawab oleh Tisa.
Tisa
duduk di sebelah Rouf, temannya yang paling gokil meskipun letoy. Dia panggil pelayan lalu memesan enam
mie ayam dan tujuh teh. Wini
tidak ikut makan mie ayam, belum berani. Takut kalau perutnya sakit dan diare
lagi.
“Aku lagi
pengen pulang.”
Perkataan
Tisa memecah keheningan diantara tujuh anak yang duduk mengelilingi meja
persegi panjang itu. Mereka hanya mengangguk- angguk setelah mendengar
pernyataan dari Tisa.
Tak lama
kemudian pesanan berupa enam mie ayam dan teh sebanyak tujuh gelas itupun
mendarat di meja yang dikelilingi tujuh anak itu.
“Satu, dua
tiga.”
“Makan.”
Mereka
sangat bersemangat sekali ketika menuangkan saus, kecap, sambal, dan
sebagainya. Nggak tanggung- tanggung, Tisa menuangkan saus sebanyak tiga sendok
makan penuh. Rouf pun sampai melongo melihat tingkah Tisa.
“Tis, lebay
amat sih kamu.”
“Kebanyakan
ya? Biarin deh.”
“Serius lo?
Nggak kasian sama perut lo?” ucap Rouf berlagak
anak gaul.
“Ck, yang
penting makan. Yuuk.”
“Sterah
deh.”
“Hh, Tisa
kan anak ular.”
“Haish, urusai-
berisik.”
“Teman-teman,
berdoa dulu sebelum makan,” ucap Fatim yang biasa di panggil teman- temannya
dengan nama Ustazdah itu.
Setelah
menghabiskan mie ayamnya, Tisa berpamitan kepada teman-temannya untuk pulang
dulu karena sebentar lagi ayahnya akan menjemput. Tisa memberikan sejumlah uang
kepada agar nanti seluruh makanan dibayar.
Dia tinggalkan teman – temannya lalu menuju halte, menunggu kedatangan papanya. Sesaat setelah
sampai di halte, mendadak ada pengendara motor yang berhenti dihadapannya. Tia
tidak mengenalnya karena wajahnya tertutup oleh helm.
Saat
pengendara motor iu melepas helmnya, Tisa agak terkejut. Pemakai helm hijau
floral itu adalah Hoho. Senyum Hoho mengembang, membuat Tisa tak bergerak
beberapa detik.
“Mau
kemana?” Hoho beloum turun dari motornya.
“Mau
pulang,” kata Tisa berpaling.
“Pulang?
Pulang ke rumah? Ngapain?”
“Iya, ya
pengen pulang aja, Ho.” Katanya
datar sembari menengok jam tangannya. Kini Dia benar-benar nggak bisa menatap mata Hoho. Entah mengapa.
“Mau ku
anter?”
Tisa sempat
menelan ludah. Hoho yang tadi siang galaknya minta ampun, sekarang jadi kalem.
menawarkan jasa mengantar Tisa pula.
“Eh, enggak,
Ho, makasih. Aku dijemput Papa kok, itu mobilnya udah keliatan,” kata Tisa
dengan senyum. Kini dia tatap sepasang mata manusia
yang ada di depannya.
Hoho menoleh
ke belakang, melihat mobil yang ditunjuk oleh Tisa. Mobil itu kemudian berhenti
persis di depan halte, di depan motor Hoho. Ketika kaca depan mobil itu
terbuka, Hoho menampakkan senyum manisnya ke seorang laki- laki yang ada di belakang kemudi, yang tak lain adalah Ayah Tisa. Senyum balasan pun
berhasil Hoho dapatkan,
“Aku pulang
duluan ya, see you.”
Tisa masuk
ke dalam mobil itu.
“Ya,” kata
Hoho singkat sambil menganggukkan kepalanya.
Mobil itu
melesat pelan meninggalkan Hoho yang masih di halte bersama motornya itu.
***
“Itu tadi
Hoho ya Tis? Kalian pacaran?”
Pertanyaan
yang sedikit nabrak hati Tisa itu membuatnya sedikit sungkan untuk
membahas hal itu meskipun Hoho bukan pacarnya.
“Iya Pa,
Hoho teman kecil Tisa kan Pa. enggak, kita enggak pacaran, kita Cuma temen kok
Pa.” Tisa berusaha menjelaskan.
“Oh, begitu.
Ya, kalau bisa kamu jangan mikir yang gitu- gitu dulu. Sekolah dulu, yang
pinter, yang rajin, biar jadi orang yang berguna.”
Tisa
mengangguk - angguk sambil meresapi kata- kata ayahnya itu, yang mungkin, belum
membolehkan Tisa untuk berpacaran.
Di dalam
perjalanan, ayah Tisa bercerita bahwa mama tadi malam diare. Itu terjadi lantaran mama Tisa kebanyakan makan pepaya.
Hal itu
membuat Tisa merenung. Tiga orang terdekatnya kini sedang diare. Jangan-
jangan, habis ini, giliran dia yang diare. Oh tidaaak.
“Kok malah
melamun sih? Hm, nggak usah sedih, Mama mu udah baikan kok.”
“Eh…,” Tisa
terbangun dari perenungannya.
“Oh, ya
Alhamdulillah deh Pa,” lanjut Tisa.
“Oh ya, Papa
lupa tanya, ngapain kamu pulang Jumat
–Jumat gini, nanggung. Kenapa nggak besok aja?”
“Hehe. Punya
feeling Pa. dan feelingku itu benar lhoo. Fellingku kan mama sakit. Beneran
kan? He,” jawab Tisa cengar cengir.
Sampai di
rumah.
Mama Tisa
agak terkejut melihat anak gadisnya itu pulang. Dikiranya ada apa-apa yang terjadi
padanya Karena sebelumnya Tisa tidak
memberi kabar kepada mamanya bahwa Dia akan pulang. Tisa mendarat dipelukan
mamanya.
Tisa merasa
kehausan setelah ia mencuci kakinya. Ketika
hendak menuju ke kamar, Dia melihat ada 1 paket minuman kesehatan dengan merk
“yakult” terselip diantara meja dispenser dan lemari es. Tisa suka minuman itu
sejak kecil karena rasanya yang
menurutnya enak dan sehat. Tisapun segera merobek plastik pelindung
empat botol minuman itu, lalu membuka tutupnya kemudian meminumnya. Dia habis
dua botol.
Adiknya
paling kecil yan usianya 9 tahun itu datang menghampirinya.
“Kak, kok
diminum to?”
“Loh, yakult
ini minuman kesehatan lhoo. Bagus untuk usus kita. Kok malah heran kamu ini.”
“Kata mama,
ini udah kadaluarsa Kak, makanya tadi diselipkan di sini neeehh.”
Kata- kata
polos yang terucap oleh adiknya itu membuat Tisa membelalakkan mata dan super
kaget. Tisa lalu melihat label kadaluarsanya yang ada
pada botol kemasan yakult itu. Dan benar aja, minuman itu sudah kadaluarsa satu
hari. Entah mengapa mama nya bisa membeli barang kadaluarsa itu. Tisa lalu
membuang sisa yakult itu ke bak
sampah.
“Halah, baru
kadaluarsa satu hari Dek, nyante aja lagi. Paling- paling ya nggak ngefek.”
Adiknya
hanya diam.
***
Malam
harinya, perut Tisa mules minta ampun, sampai merintih- rintih seperti orang kelaparan. Dia sudah 4 kali ke WC. Ya,
Tisa diare. Tisa sudah dibujuk- bujuk oleh mama dan ayahnya untuk ke dokter.
Tapi Tisa tidak mau.
“Tadi kamu
makan apa aja to kok bisa kayak gini?” tanya mama Tisa sembari memberikan air
putih untuk Tisa.
“Makan mi
ayam, Mah.”
“Kebanyakan
saus?”
Tisa tidak
menjawab, dia terus merintih dan lama- lama dia merasakan pusing.
“Mah, tadi
Kak Ntis minum yakult kadaluarsa tadi, Mah,” kata adik Tisa yang tiba- tiba
nyelonong asuk ke kamar.
“Ya Allah,
ya udah ayo ke dokter aja, biar nati dikasih obat, Tis,” ajak mama Tisa.
“Kak Ntis
sih, tadi malah menyepelekan. Jadi sakit kan!” celoteh adik Tisa itupun tak membuat
sakit Tisa berangsur membaik, malah semakin parah.
***
Setelah
Dokter mendiagnosis sakit yang dialami Tisa, Dokter berkata bahwa Tisa harus
dirujuk ke rumah sakit karena diare Tisa memang harus ditangani lebih lanjut.
Tisa menjadi
tambah lesu ketika mendengarkan pernyataan dari dokter itu. Kalau dia dirujuk
di rumah sakit, kemungkinan dia akan dirawat inap, berhubungan dengan suntik,
infus dan obat. Sebenarnya Tisa membenci itu karena pada dasarnya, Tisa benci
sakit. Ya, semua orang pasti tidak suka sakit. Tapi, mau bagaimana lagi, memang
obatlah yang menjadi teman orang sakit? Toh ini demi kesembuhannya agar bisa
sehat kembali.
Benar saja, Tisa dirawat inap di rumah sakit yang lumayan
jauh dari rumahnya. Mukanya jadi pucat pasi ketika perawat hendak memasang
infus. Tapi Tisa berusaha kuat.
Tisa belum mengabari teman- temannya di sekolah tentang
keadaan dirinya. Yang sudah pasti tidak
akan masuk sekolah besok pagi. Tisa nggak mampu berbuat banyak.
“Pah, buatin surat ijin lho,Pah,” kata Tisa memecah
keheningan ruangan Tisa itu.
Adik Tisa sudah tidur di kursi di sebelah televisi. Mama
Tisa sedang keluar membeli cemilan untuk Ayah Tisa.
“Iya, sekarang kamu istirahat dulu aja.”
***
Ketika
mengetahui bahwa Tisa sakit, Wini tampak tak bersemangat. Tapi Wini punya
rencana, sepulang sekolah nanti dia akan menjenguk Tisa, yang pastinya bersama anak-anak
di kelas.
Demikian
pula dengan Hoho. Tisa, orang yang telah menolak cintanya kemarin lusa dan
menolak jasanya kemarin itu jatuh sakit. Jenis sakitnyapun sama dengan sakit
yang dialaminya kemarin, cuma lebih parah Tisa.
“Andaikan
engkau di sini, aku akan selalu menjagamu,” kata Hoho dalam hati.
Pulang
sekolah, sekitar 15 anak menuju ke rumah sakit tempat Tisa di rawat. Hoho pun
juga ikut. Sebelumnya, mereka membelikan buah tangan untuk Tisa.
Di tengah-
tengah perjalanan motor Hoho mogok dan harus dibawa ke bengkel. Hati Hoho
kesal. Teman – teman yang lainnya memutuskan untuk duluan karena hampir hujan.
“Gimana Ho?”
tanya Wini
“Wah,
mesinnya sakit nih, kalian duluan aja nggak papa, keburu hujan ntar . Nanti aku
nyusul, nanti aku sms sin ruangannya ya.”
“Oke deh,
ati – ati lho.”
“Sip.”
Cukup lama
Hoho berada di bengkel, hingga hujan pun tiba.
***
Tisa sedang
ditunggu oleh kakak sepupunya. Ayahnya kerja, meskipun ini hari Sabtu, lembur.
Dan mamanya harus mengurus adiknya.
Tisa yang
sedang nonton TV itu terkejut ketika pintu ruangan dibuka tanpa ketuk oleh
seseorang.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,
Ya Allah kalian.”
Tisa
merasa seperti kehujanan uang ketika
teman- temannya masuk ke ruangannya.
Nggak nyangka kalau teman – temannya bakal sepeduli ini. Dia kira hanya Wini saja yang bakal menjenguknya.
“Mbak, itu
teman-temanku,” ucap Tisa pada sepupunya.
Tapi, ada
yang mengganjal. Dia tidak melihat Hoho di rombongan teman- temannya ini. Apa
Hoho memang sudah tidak peduli akan keadaannya lantaran ditolak? Tisa tak tau.
“Tis, ini
ada sedikit cemilan buat kamu, biar cepet sembuh, hehe,” ucap Rouf si gokil
itu.
“Maaf Tis,
anak- anak nggak bisa ikut semua, termasuk wali kelas kita, Bu Arin nggak bisa
ikut.”
“Mungkin
pada mau malming, haha.”
“Kalau kita
malming nya ya di sini aja, ya nggak?”
Di dalam
obrolan mereka, Tisa hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia merasa tidak
ada satupun anak yang membicarakan Hoho. Dan, hujan sangat lebat. Membuat Tisa
yakin bahwa Hoho tidak menjenguk dirinya.
Teman-
temannya itu terus mengobrol dan menghibur Tisa. Sedangkan di luar sana, Hoho
harus menembus hujan lebat melewati jalanan yang macet. Demi menjenguk Tisa.
Sesampainya Hoho
di rumah sakit, hujan sudah reda. Dia membuka HP nya. Mendapat sms dari Rouf tentang
keberadaan Tisa. HP nya bergetar kembali. Sms dari Rouf lagi.
From: Rouf
To: Hoho
Ho, sampai mana kamu?
Lama banget. Kita udah mau pulang ni.
Hoho lalu
bergegas menuju ruang tempat Tisa dirawat. Rambut cepaknya berantakan karena
memakai helm.
Di ruangan
Tisa.
“Wah Tis,
udah sore ni, kita..,” kalimat Wini terhenti karena pintu terbuka oleh
seseorang.
“Halo, sory guys
telat,” kata Hoho agak terengah engah.
“Wah, nggak
jadi pulang nih kita,”
“Kita nginep
aja ya Tis, boleh yaa. Hehe”
Melihat
Hoho, hati Tisa menari – nari tapi raganya hanya diam, melongo. Tisa merasa
hari ini Hoho cool banget. Hoho menghampiri raga Tisa yang sedang duduk
bersandar di atas tempat tidur putih itu. Menatap wajah pucat dan mata sayu
Tisa. Hoho tersenyum, Tisa membalasnya, lalu mengajakknya salaman. Teman – teman Tisa kini malah pada nonton TV
di dekat sudut ruangan. Kakak Tisa memilih untuk keluar mencari cemilan.
Hoho lalu
duduk di kursi, persis di sebelah Tisa.
“Gimana?
Sakit?” kata Hoho ketus.
Kata- kata
itu Membuat Tisa ndongkol habis- habisan. Di kiranya Hoho akan mengajakknya
bicara baik- baik, tapi ternyata, menyebalkan.
Tisa tidak
menjawab pertanyaan itu. Dia memalingkan wajahnya.
“Makanya,
jangan suka ngejek orang, nanti mbalik. Iya kan? Ini buktinya, kamu kena
sendiri,” kata Hoho sambil mengacak-acak rambut Tisa.
Tisa melirik
Hoho, mulutnya masih rapat. Raganya serasa melayang ketika Hoho meraih tubuhnya
ke pelukan .
“Tis, maafin
aku ya. Aku sayang kamu,” ucap Hoho pelan.
Air mata
Tisa jatuh membahasi pipinya. Dia tak menyangka ini akan terjadi.
“Iya. Ho. Aku
juga minta maaf Ho, aku banyak salah sama kamu,” kata Tisa sedikit terisak.
Dan kini,
air mata Tisa membasahi bahu kanan Hoho, Tisa merasa banyak salah dengan Hoho.
Hati Tisa merasa nyaman berada di pelukan Hoho meskipun air matanya mengucur
deras. Mereka terdiam beberapa saat. Tisa melepaskan pelukannya. Di tatapnya
orang yang ada di hadapannya. Tersenyum.
“Get well
soon ya,” telapak tangan Hoho mengusap air mata yang
tercecer di pipi Tisa.
Tisa
tersenyum. Merasa lega.
Hoho membuka
tirai yag merupakan sekat antara tempat tidur Tisa dan ruang tamu. Kemudian
berseru kepada teman- temannya.
“Ayo pren,
pulang, keburu hujan lagi ntar.”
Tidak ada
yang mengerti bahkan melihat pembicaraan singkat antara Tisa dan Hoho itu. Dan,
tidak ada satupun dari teman Tisa yang penasaran.